PECINTA AL-QUR'AN
Rosullullah meninggalkan 2 wasiat yang menjadi pedoman hidup manusia yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah
Minggu, 01 Februari 2015
Meningkatkan Kemampuan Baca Al-Qur'an
Mengejutkan...
Bagaimana tidak, ditengah kuantitas muslim Indonesia mengalahkan agama lainnya, ternyata kualitas bacaan Al-Qur'annya sangat jauh dari kuantitasnya. Dari 100 orang hanya sekitar 35 orang saja yang mampu membaca Al-Qur'an. Itupun belum dikurangi dengan orang yang membacanya belum sempurna. Inilah yang kemudian mendorong kami untuk kemudian membuat sebuah lembaga T2QC yang merupakan Tahsin Tahfidz al-Qur'an Club.
T2QC kami berlokasi di Cikabuyutan Timur, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, Lingkungan Pesantren Persatuan Islam Kota Banjar.
Program yang kami lakukan adalah pembinaan:
1. Baca Tulis al-Qur'an
2. Hafalan al-Qur'an
Mudah-mudahan besar kecilnya mampu mengurangi jumlah yang banyak dalam kesulitan membaca Al-Qur'an dan menghafalnya.
Hal ini juga dilakukan dalam menindak lanjuti program Wali Kota Banjar, yaitu "Gemar Mengaji". Program yang dilakukan setelah ba'da magrib ini mengharuskan semua warga untuk mematikan TV dan kemudian semua anggota keluarga membuka al-Qur'an dan membacanya. Program ini juga merupakan program terusan dari Gubernur Jawa Barat, yang menindak lanjuti kondisi masyarakat, khususnya anak-anak muda yang kemudian terbukti semakin tidak mencintai al-Qur'an dan lebih terkesan menjauihinya sehingga ta mengenalnya.
Semoga saja program ini terus berjalan dan kembali meningkatkan kemampuan baca semua umat Islam terutama generasi mudanya, sehingga selepasnya mencintai dengan membaca, selanjutnya diharapkan akhlaknya-pun al-Qur'an.
Bismillahirrohmanirrohim
Minggu, 06 Februari 2011
PPI 85 Juara 1


Kemenangan dan Kekalahan adalah hal yang biasa dalam kehidupan, terlebih dalam Perlombaan.
Bermula dari niatan mengembangkan mental dan kemampuan para santri, Tim Asatidz dari Pesantren Persatuan Islam 85 Banjar akhirnya mengutus beberapa anak, untuk mengikuti beberapa jenis perlombaan pada acara GEMA PERSIS HIMA HIMI PK UPI pada tanggal 4 dan 5 Februari, tepatnya hari sabtu dan ahad 2011 yang bertempat di UPI Bandung.
Adapun jenis perlombaan yang diikuti adalah “Karya Tulis Ilmiah” dan “Debat Tingkat SMA Se JAWA BARAT”. Dengan hanya mengandalkan dorongan do’a dan tidak memberikan keharusan kepada santri untuk mendapatkan gelar apapun, akhirnya mereka berangkat pada hari sabtu pagi, tepatnya jam 02.30 WIB.
Mereka yang ikut adalah Akhi Aliy Ahrar, M. Yusup Sidik, Yusuf Bachtiar untuk lomba Debat Tingkat SMA Se JAWA BARAT dan Ukhti Sri Lestari, Inda Fajriah untuk lomba “Karya Tulis Ilmiah” disertai oleh pembimbing Irfan Afandi.
Kami, tim asatidz yang berada di Banjar, hanya mampu berharap, semoga para santri dari PPI 85 Banjar diberikan yang terbaik oleh Sang Maha Tau, Allah SWT. Sehari berlalu, informasi yang kami dapatkan dari Bandung kita tanggapi dengan kalimat sederhana tapi penuh pengharapan, “Alhamdulilah”. Ternyata para peserta yang kami kirim mendapat kemudahan dari Allah untuk terus melaju kebabak selanjutnya.
Hingga pada hari Ahad, kami menerima kabar, bahwa tim debat masuk semi final, tepat setelah informasi itu datang, ternyata informasi pertama yang membahagiakan kami adalah salah satu peserta yang kami kirim untuk mengikuti lomba ““Karya Tulis Ilmiah” menjadi Juara 1, yaitu Sri Lestari. “Alhamdulilah”, hanya itu yang mampu kami katakan, sebagai tanda bahagia dan syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Beberapa jam setelah info itu kami terima, kami mendapatkan info yang kemudian membuat kami tersadar, bahwa anak-anak kami mampu bersaing dan mengharumkan PPI 85 dan mengharumkan Kota Banjar di Kancah Jawa Barat. Selain “Karya Tulis Ilmiah”, Debat Tingkat SMApun kami menjadi juara 1.
Selamat atas keberhasilan kalian.
Kekalahan dan kemenangan adalah biasa, semua merupakan ujian, kini Akhi Aliy Ahrar, M. Yusup Sidik, Yusuf Bachtiar dan Ukhti Sri Lestari, Inda Fajriah mendapatkan ujian kemengan, semoga kita bisa belajar dari setiap kegagalan dan kemenagan.
Perhelatan dalam lomba kemarin adalah awal kalian untuk mengepakan sayap keilmuan kalian kekancah yang lebih luas, semoga Allah memudahkan jalan kalian mendapatkan ilmu dimanapun itu.
Sekali lagi kami ucapkan, “Selamat atas kemengan yang diraih”, “Terima Kasih” telah berusaha mengharumkan PPI 85 dengan menorehkan tintas emas di publik Jawa Barat.
Senin, 03 Januari 2011
Adab dalam majelis ilmu
Pada suatu saat Rasulullah berkumpul dengan para sahabatnya dalam sebuah majlis. Ketika itu Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya : “siapa diantara kalian yang mengetahui tentang sebuah pohon yang tidak pernah jatuh daunnya sebagai lambang dari seorang muslim, pohon apakah itu?”. Para sahabat yang hadir pada waktu itu mencoba menerka dalam hatinya bahwa pohon tersebut adalah pohon yang hidup di gurun pasir, sedangkan Ibnu Umar yang juga ikut hadir menerka bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma, dikarenakan malu jadi dia tidak menjawabnya. Semua sahabat yang hadir berkata : “terangkanlah kepada kami pohon apakah itu ya Rasululloh? Rasulullah pun menjawab pohon itu adalah pohon kurma”. Dalam suatu riwayat lain pada waktu itu Ibnu Umar masih kecil. (H.R Bukhari).
Dari hadits di atas terdapat dua masalah yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kita. Pertama, jangan pernah meremehkan pengetahuan/ilmu pengetahuan anak kecil. Kedua, adab (tatakrama, sopan santun) dalam menjawab pertanyaan selama masih ada orang alim atau orang yang lebih tua dari kita ada bersama kita.
Pertama, jangan pernah meremehkan pengetahuan/ilmu pengetahuan anak kecil. Dalam pengetahuan tidak ada batas apakah dia sudah tua, lebih dahulu lahir, senior, atau apapun yang termasuk kategori lebih. Yang utama dalam pengetahuan sejauh mana seseorang mempelajari suatu bidang pengetahuan, keseriusannya, ketekunannya, dan pemahaman dia terhadap pengetahuan tersebut. Usia dan kedahuluan hidup seseorang tidak mempengaruhi untuk menguasainya. Dalam kejadian Ibnu Umar, dia memiliki pengetahuan padahal usia dia waktu itu masih kecil.
Kedua, adab (tatakrama, sopan santun) dalam menjawab pertanyaan selama masih ada orang alim atau orang yang lebih tua dari kita ada bersama kita. Ini bukan berarti menunjukkan apabila kita mengetahui sesuatu kita tidak boleh mengutarakannya selama ada orang alim atau orang yang lebih tua. Tetapi kita mesti mendahulukan orang-orang tersebut untuk berbicara atas apa yang diketahuinya. Baru setelah itu giliran kita untuk berbicara sesuai dengan apa yang diketahui kita. Ibnu Umar sebagai anak kecil dia mendahulukan orang-orang disekitarnya untuk menjawab pertanyaan nabi. Penjelasan tentang Ibnu Umar malu untuk menjawab pertanyaan nabi menunjukkan ketawadhuan dia terhadap para sahabat besar (yang lebih tua usianya, dan telah lama bersama nabi). Dan sifat malunya itu tidak berarti mengajarkan kita untuk tidak boleh menjawab masalah atau pertanyaan. Tapi sifat malunya itu menunjukkan bahwa dia sangat paham tentang adab dalam suatu majlis (forum).
Kita sering mendengar atau mengetahui beberapa anak kecil dengan kemampuan luar biasa. Mereka terkadang melampaui orang dewasa dalam pengetahuan atau penguasaan terhadap suatu bidang. Dan itu sudah tidak mengherankan lagi bagi kita. Hanya saja terkadang masih banyak orang dewasa yang tidak mempedulikan kemampuan mereka. Akhirnya apa yang telah dimiliki anak kecil menjadi tersia-siakan. Alih-alih mengarahkan dia untuk belajar mengungkapkan pengetahuannya dan beradab seperti halnya Ibnu Umar kecil. Karena kondisi seperti itu terjadilah penyalahgunaan pengetahuan dan keahlian. Dalam beradab pun anak tersebut tidak terbiasa dengan adab seperti Ibnu Umar. Sehingga yang terjadi kebiasaan buruk yang dibawa sampai dewasa. Anak berani kurang ajar terhadap orang dewasa karena merasa dia lebih mengetahui atau menguasai sesuatu daripada orang dewasa. Itulah yang terjadi sekarang ini.
Seiring dengan perkembangan kemajuan di seluruh bidang yang notabene bersumber dari barat, apa yang bersumber dari barat diikuti tanpa difilter terlebih dahulu, hingga kita pun dalam beradab mengikuti mereka. Apalagi adab barat tersebut telah dipoles dan dibungkus mengunakan logika halus dengan cara memasukan bidang pelajaran etika menurut ukuran masuk akal atau tidak masuk akal. Sedangkan nilai keindahan sopan santun pun diukur oleh dapat diterima atau tidaknya oleh akal. Didukung dengan menjamurnya perguruan tinggi-perguruan tinggi yang hampir semuanya berkiblat ke barat. Lulusannya pun menjadi sarjana-sarjana yang lupa akan adat ketimurannya. Memang adat ketimuran tidak semuanya bertentangan dengan adab Islam begitupun dari barat. Tapi dalam hal ini adat ketimuran sangat dekat dengan sifat yang ditunjukkan Ibnu Umar hanya terkadang memang masih ada catatan-catatan kecil yang masih perlu dibenahi. Contoh dalam salah satu adat timur anak kecil tidak boleh melebihi orang dewasa dalam segala bidang karena anak kecil hidupnya baru sedangkan orang dewasa telah lebih dahulu hidupnya. Padahal dalam contoh yang ditunjukkan oleh Ibnu Umar tidak begitu. Dia merupakan seorang anak yang tahu akan jawaban nabi berarti dia mengetahui daripada orang-orang yang hadir di majlis tersebut tetapi karena dia seorang anak yang beradab membuat dia lebih mendahulukan adab kesopanan daripada harus menonjolkan pengetahuannya. Jadi apa yang dilakukan Ibnu Umar bukan berarti anak kecil tidak boleh melebihi orang dewasa seperti dalam adat timur.
Ketika ilmu hasil kuliah dipraktekkan dan disampaikan, pengaruh pendidikan barat terbawa dan berpengaruh menjadi lifestyle pengganti adab Islam yang sebelumnya telah dimilikinya. Sehingga mereka menganggap biasa atas anak kecil yang memiliki kemampuan mengekspresikan kemampuannya dengan liar tanpa memiliki adab. Banyak anak kecil yang memiliki kemampuan lebih, menentang orang dewasa dibiarkan begitu saja. Karena mereka menganggap jika anak kecil ditekan kemampuannya akan menghasilkan generasi bodoh dan tidak memiliki inisiatif. Singkatnya mereka menganggap perbuatan membimbing dan mengarahkan anak itu merupakan pembunuhan karakter, kreatifitas, perkembangan psikologi, dan kemampuan anak.
Mereka lupa dengan begitu anak akan menjadi sombong dan tidak tahu arah. Jangan beranggapan bahwa anak jika sudah mencapai umur dewasa akan menemukan jati dirinya sendiri. Itu agaknya anggapan yang tidak pas karena dengan begitu ketika anak sudah dewasa akan memiliki pribadi yang egois, merasa paling benar, dan paling segalanya. Memang benar ketika anak menjadi dewasa, mereka akan menemukan jati dirinya sendiri. Tetapi tidaklah seperti itu, dalam pendidikan Islam harus terlebih dahulu dibekali akhlakul karimah sebagai modal bagi anak dalam menempuh kehidupannya. Walaupun pada suatu saat dia cenderung menyimpang, itu adalah permasalahan lain dan diluar kendali kita, karena manusia itu memiliki kendali yaitu hati dan akal yang semuanya itu barada di bawah kuasa Ilahi.
Wajar saja jika sekarang hampir di seluruh dunia kemerosotan akhlak telah terwujud nyata. Janganlah kita menyepelekan akhlak, karena jika bergeser sedikit pun akan berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kehancuran bagi umat manusia. Kita tidak boleh keliru memandang kemajuan dunia dalam segi penguasaan materi yang tidak disertai akhlak. Justru dalam waktu jangka panjang, kemajuan tersebut akan menemukan titik kehancurannya. Misalnya terbukti dengan majunya seseorang dalam bidang materi akan banyak menimbulkan kejahatan jika si pemilik harta tidak memiliki akhlak. Lain halnya dengan si kaya yang berakhlak, mereka mengetahui kewajibannya terhadap si miskin begitu pun si miskin. Sehingga kejahatan yang akan terjadi dapat diminimalisir.
Dari satu sisi benar bahwa kemajuan di bidang materi dapat berjalan sendiri asalkan tekun menggali nilai-nilai yang terkandung di alam. Tetapi harus diingat bahwa yang memajukan dunia adalah manusia. Sedangkan manusia memiliki hati nurani yang cenderung kuat terhadap kebenaran, sebagaimana yang diajarkan Islam. Hati perlu diperhatikan dalam porsi besar karena dengan hati, manusia bisa saling menghargai dan menerima keberadaan masing-masing. Maka dari itu, hati perlu diberi pendidikan akhlak mulia.
Tontonan televisi tentang kepiawaian seseorang menjawab masalah dalam diskusi atau debat memperlihatkan arogansi masing-masing pembicara. Terlihat dari bagaimana mereka mengekspresikan pendapat. Ketika yang satu bicara yang lainnya pun ikut bicara tanpa harus terlebih dahulu mendengarkan pembicaraan temannya sampai selesai, begitupun yang satunya lagi tidak mau memberikan kesempatan bagi teman bicaranya untuk berbicara. Sehingga diskusi atau debat tidak karuan kemana arahnya dan hasilnya pun hanya sebagai tontonan. Tidak ada bedanya dengan tontonan film kartun yang ditonton anak kecil, tidak mendidik kecuali hanya pamer kehebatan bicara.
Dalam diri Ibnu Umar terdapat contoh meskipun dia masih kecil tetapi dia telah memiliki akhlak mulia. Dia bukanlah anak yang tidak kreatif, terbelakang, ataupun bodoh, hanya apa yang terdapat dalam hadits tersebut menunjukan bahwa dia adalah seorang anak kecil yang tahu diri dan memiliki pengetahuan. Sedangkan sifat malu dalam penjelasan hadits tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Umar adalah seorang anak cerdas yang bisa membaca situasi dimana dia harus berbicara. Ketika akhlak sudah disepelekan ketika itu pula pendidikan mengacuhkannya. Maka hasilnya anak tidak memiliki akhlak mulia. Akhlak mulia yang ditunjukkan Ibnu Umar hanya sebagian kecil dalam Islam, masih banyak akhlak mulia lainnya yang perlu digali untuk diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu ‘alam.
Penulis: Yunan Helmi
Dari hadits di atas terdapat dua masalah yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kita. Pertama, jangan pernah meremehkan pengetahuan/ilmu pengetahuan anak kecil. Kedua, adab (tatakrama, sopan santun) dalam menjawab pertanyaan selama masih ada orang alim atau orang yang lebih tua dari kita ada bersama kita.
Pertama, jangan pernah meremehkan pengetahuan/ilmu pengetahuan anak kecil. Dalam pengetahuan tidak ada batas apakah dia sudah tua, lebih dahulu lahir, senior, atau apapun yang termasuk kategori lebih. Yang utama dalam pengetahuan sejauh mana seseorang mempelajari suatu bidang pengetahuan, keseriusannya, ketekunannya, dan pemahaman dia terhadap pengetahuan tersebut. Usia dan kedahuluan hidup seseorang tidak mempengaruhi untuk menguasainya. Dalam kejadian Ibnu Umar, dia memiliki pengetahuan padahal usia dia waktu itu masih kecil.
Kedua, adab (tatakrama, sopan santun) dalam menjawab pertanyaan selama masih ada orang alim atau orang yang lebih tua dari kita ada bersama kita. Ini bukan berarti menunjukkan apabila kita mengetahui sesuatu kita tidak boleh mengutarakannya selama ada orang alim atau orang yang lebih tua. Tetapi kita mesti mendahulukan orang-orang tersebut untuk berbicara atas apa yang diketahuinya. Baru setelah itu giliran kita untuk berbicara sesuai dengan apa yang diketahui kita. Ibnu Umar sebagai anak kecil dia mendahulukan orang-orang disekitarnya untuk menjawab pertanyaan nabi. Penjelasan tentang Ibnu Umar malu untuk menjawab pertanyaan nabi menunjukkan ketawadhuan dia terhadap para sahabat besar (yang lebih tua usianya, dan telah lama bersama nabi). Dan sifat malunya itu tidak berarti mengajarkan kita untuk tidak boleh menjawab masalah atau pertanyaan. Tapi sifat malunya itu menunjukkan bahwa dia sangat paham tentang adab dalam suatu majlis (forum).
Kita sering mendengar atau mengetahui beberapa anak kecil dengan kemampuan luar biasa. Mereka terkadang melampaui orang dewasa dalam pengetahuan atau penguasaan terhadap suatu bidang. Dan itu sudah tidak mengherankan lagi bagi kita. Hanya saja terkadang masih banyak orang dewasa yang tidak mempedulikan kemampuan mereka. Akhirnya apa yang telah dimiliki anak kecil menjadi tersia-siakan. Alih-alih mengarahkan dia untuk belajar mengungkapkan pengetahuannya dan beradab seperti halnya Ibnu Umar kecil. Karena kondisi seperti itu terjadilah penyalahgunaan pengetahuan dan keahlian. Dalam beradab pun anak tersebut tidak terbiasa dengan adab seperti Ibnu Umar. Sehingga yang terjadi kebiasaan buruk yang dibawa sampai dewasa. Anak berani kurang ajar terhadap orang dewasa karena merasa dia lebih mengetahui atau menguasai sesuatu daripada orang dewasa. Itulah yang terjadi sekarang ini.
Seiring dengan perkembangan kemajuan di seluruh bidang yang notabene bersumber dari barat, apa yang bersumber dari barat diikuti tanpa difilter terlebih dahulu, hingga kita pun dalam beradab mengikuti mereka. Apalagi adab barat tersebut telah dipoles dan dibungkus mengunakan logika halus dengan cara memasukan bidang pelajaran etika menurut ukuran masuk akal atau tidak masuk akal. Sedangkan nilai keindahan sopan santun pun diukur oleh dapat diterima atau tidaknya oleh akal. Didukung dengan menjamurnya perguruan tinggi-perguruan tinggi yang hampir semuanya berkiblat ke barat. Lulusannya pun menjadi sarjana-sarjana yang lupa akan adat ketimurannya. Memang adat ketimuran tidak semuanya bertentangan dengan adab Islam begitupun dari barat. Tapi dalam hal ini adat ketimuran sangat dekat dengan sifat yang ditunjukkan Ibnu Umar hanya terkadang memang masih ada catatan-catatan kecil yang masih perlu dibenahi. Contoh dalam salah satu adat timur anak kecil tidak boleh melebihi orang dewasa dalam segala bidang karena anak kecil hidupnya baru sedangkan orang dewasa telah lebih dahulu hidupnya. Padahal dalam contoh yang ditunjukkan oleh Ibnu Umar tidak begitu. Dia merupakan seorang anak yang tahu akan jawaban nabi berarti dia mengetahui daripada orang-orang yang hadir di majlis tersebut tetapi karena dia seorang anak yang beradab membuat dia lebih mendahulukan adab kesopanan daripada harus menonjolkan pengetahuannya. Jadi apa yang dilakukan Ibnu Umar bukan berarti anak kecil tidak boleh melebihi orang dewasa seperti dalam adat timur.
Ketika ilmu hasil kuliah dipraktekkan dan disampaikan, pengaruh pendidikan barat terbawa dan berpengaruh menjadi lifestyle pengganti adab Islam yang sebelumnya telah dimilikinya. Sehingga mereka menganggap biasa atas anak kecil yang memiliki kemampuan mengekspresikan kemampuannya dengan liar tanpa memiliki adab. Banyak anak kecil yang memiliki kemampuan lebih, menentang orang dewasa dibiarkan begitu saja. Karena mereka menganggap jika anak kecil ditekan kemampuannya akan menghasilkan generasi bodoh dan tidak memiliki inisiatif. Singkatnya mereka menganggap perbuatan membimbing dan mengarahkan anak itu merupakan pembunuhan karakter, kreatifitas, perkembangan psikologi, dan kemampuan anak.
Mereka lupa dengan begitu anak akan menjadi sombong dan tidak tahu arah. Jangan beranggapan bahwa anak jika sudah mencapai umur dewasa akan menemukan jati dirinya sendiri. Itu agaknya anggapan yang tidak pas karena dengan begitu ketika anak sudah dewasa akan memiliki pribadi yang egois, merasa paling benar, dan paling segalanya. Memang benar ketika anak menjadi dewasa, mereka akan menemukan jati dirinya sendiri. Tetapi tidaklah seperti itu, dalam pendidikan Islam harus terlebih dahulu dibekali akhlakul karimah sebagai modal bagi anak dalam menempuh kehidupannya. Walaupun pada suatu saat dia cenderung menyimpang, itu adalah permasalahan lain dan diluar kendali kita, karena manusia itu memiliki kendali yaitu hati dan akal yang semuanya itu barada di bawah kuasa Ilahi.
Wajar saja jika sekarang hampir di seluruh dunia kemerosotan akhlak telah terwujud nyata. Janganlah kita menyepelekan akhlak, karena jika bergeser sedikit pun akan berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kehancuran bagi umat manusia. Kita tidak boleh keliru memandang kemajuan dunia dalam segi penguasaan materi yang tidak disertai akhlak. Justru dalam waktu jangka panjang, kemajuan tersebut akan menemukan titik kehancurannya. Misalnya terbukti dengan majunya seseorang dalam bidang materi akan banyak menimbulkan kejahatan jika si pemilik harta tidak memiliki akhlak. Lain halnya dengan si kaya yang berakhlak, mereka mengetahui kewajibannya terhadap si miskin begitu pun si miskin. Sehingga kejahatan yang akan terjadi dapat diminimalisir.
Dari satu sisi benar bahwa kemajuan di bidang materi dapat berjalan sendiri asalkan tekun menggali nilai-nilai yang terkandung di alam. Tetapi harus diingat bahwa yang memajukan dunia adalah manusia. Sedangkan manusia memiliki hati nurani yang cenderung kuat terhadap kebenaran, sebagaimana yang diajarkan Islam. Hati perlu diperhatikan dalam porsi besar karena dengan hati, manusia bisa saling menghargai dan menerima keberadaan masing-masing. Maka dari itu, hati perlu diberi pendidikan akhlak mulia.
Tontonan televisi tentang kepiawaian seseorang menjawab masalah dalam diskusi atau debat memperlihatkan arogansi masing-masing pembicara. Terlihat dari bagaimana mereka mengekspresikan pendapat. Ketika yang satu bicara yang lainnya pun ikut bicara tanpa harus terlebih dahulu mendengarkan pembicaraan temannya sampai selesai, begitupun yang satunya lagi tidak mau memberikan kesempatan bagi teman bicaranya untuk berbicara. Sehingga diskusi atau debat tidak karuan kemana arahnya dan hasilnya pun hanya sebagai tontonan. Tidak ada bedanya dengan tontonan film kartun yang ditonton anak kecil, tidak mendidik kecuali hanya pamer kehebatan bicara.
Dalam diri Ibnu Umar terdapat contoh meskipun dia masih kecil tetapi dia telah memiliki akhlak mulia. Dia bukanlah anak yang tidak kreatif, terbelakang, ataupun bodoh, hanya apa yang terdapat dalam hadits tersebut menunjukan bahwa dia adalah seorang anak kecil yang tahu diri dan memiliki pengetahuan. Sedangkan sifat malu dalam penjelasan hadits tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Umar adalah seorang anak cerdas yang bisa membaca situasi dimana dia harus berbicara. Ketika akhlak sudah disepelekan ketika itu pula pendidikan mengacuhkannya. Maka hasilnya anak tidak memiliki akhlak mulia. Akhlak mulia yang ditunjukkan Ibnu Umar hanya sebagian kecil dalam Islam, masih banyak akhlak mulia lainnya yang perlu digali untuk diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu ‘alam.
Penulis: Yunan Helmi
Minggu, 02 Januari 2011
Malu
Bismilahirrohmanirrohim,
Terkadang kita "malu" ketika tidak mempunyai baju yang bagus untuk berangkat ke mesjid, terkadang pula kita tidak jadi bertanya karena "malu", bahkan kitapun tidak jadi berangkat ke majlis ilmu karena tidak mempunyai kerudung yang bagus, atau yang paling parah kita tida jadi nengok orang yang sakit karena "malu" tidak mempunyai barang bawaan untuk yang sakit.
Tapi, kita tidak merasa "malu" ketika kita tidak bisa shalat berjama'ah di mesjid, kita juga tidak malu ketika kita tidak bisa mengkhtamkan al-Qur'an dalam waktu yang dicontohkan Rosul (Waqro'il qur'ana fi syahrin = Bacalah/ khatamkanlah alqur'an dalam satu bulan), terkadang kita juga tidak "malu" ketika ada kotak amal lewat depan muka kita lantas kita tidak menshodaqohkan harta kita, atau juga kita tidak merasa "malu" ketika kita tidak berbuat baik. Mengapa?
Lantas, bagaimanakah sebenarnya Islam memandang sifat "malu" ini.
Para Ulama sepakat, bahwa rasa "malu" yang ada pada diri kita itu ditempatkan tatkala kita akan melakukan dosa, maksiat kepada Allah bukan ketika kita akan melakukan kebaikan.
Mudah-mudah kita termasuk orang yang dapat menyimpan rasa "malu" pada tempat yang sebenarnya yaitu "malu ketika akan berbuat kejahatan/dosa" bukan untuk berbuat kebaikan.
Semakin besar rasa "malu' kita dalam melakukan kejahatan, maka akan semakin banyak kebaikan yang kita lakukan.
Terkadang kita "malu" ketika tidak mempunyai baju yang bagus untuk berangkat ke mesjid, terkadang pula kita tidak jadi bertanya karena "malu", bahkan kitapun tidak jadi berangkat ke majlis ilmu karena tidak mempunyai kerudung yang bagus, atau yang paling parah kita tida jadi nengok orang yang sakit karena "malu" tidak mempunyai barang bawaan untuk yang sakit.
Tapi, kita tidak merasa "malu" ketika kita tidak bisa shalat berjama'ah di mesjid, kita juga tidak malu ketika kita tidak bisa mengkhtamkan al-Qur'an dalam waktu yang dicontohkan Rosul (Waqro'il qur'ana fi syahrin = Bacalah/ khatamkanlah alqur'an dalam satu bulan), terkadang kita juga tidak "malu" ketika ada kotak amal lewat depan muka kita lantas kita tidak menshodaqohkan harta kita, atau juga kita tidak merasa "malu" ketika kita tidak berbuat baik. Mengapa?
Lantas, bagaimanakah sebenarnya Islam memandang sifat "malu" ini.
Para Ulama sepakat, bahwa rasa "malu" yang ada pada diri kita itu ditempatkan tatkala kita akan melakukan dosa, maksiat kepada Allah bukan ketika kita akan melakukan kebaikan.
Mudah-mudah kita termasuk orang yang dapat menyimpan rasa "malu" pada tempat yang sebenarnya yaitu "malu ketika akan berbuat kejahatan/dosa" bukan untuk berbuat kebaikan.
Semakin besar rasa "malu' kita dalam melakukan kejahatan, maka akan semakin banyak kebaikan yang kita lakukan.
Rabu, 21 Juli 2010
PPI 85 (Pesantren Berbasis Al-Qur'an dan As-Sunah)
SEJARAH BERDIRI
Berdirinya Pesantren Persatuan Islam 85 Banjar sebagai wujud peduli pendidikan yang tidak terbantahkan dari aktivitas organisasi Persatuan Islam (PERSIS) Kota Banjar. Dari lembaga ini telah dihasilkan sejumlah lulusan yang berkifrah diberbagai pekerjaan formal dan non formal. Mereka sanggup berdiri dan menjadi pribadi-pribadi mandiri sesuai dengan tujuan pendidikan (institusional dan nasional) dan juga mampu menjunjung aqidak Islamiyah yang “Tafaqquh Fiddien” sesuai dengan level pemahamannya.
Sejak awal berdirinya pada tanggal 02 Februari 1982 oleh al-Ustadz Endang Hafidz, BA, al-Ustadz H. Muchlas Abdullah, al-Ustadz Nana Suryana, dan al-Ustadz Yusuf Siddiq, Pesantren Persatuan Islam 85 Banjar, menyelenggarakan pendidikan formal, Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Diniyyah, MD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)
Keberadaan peserta didik (santri) yang sampai sekarang masih belajar, membuktikan bahwa Pesantren Persatuan Islam 85 Banjar sangat dibutuhkan masyarakat. Potensi ini menjadi point penting dan bukti kepercayaan umat pada lembaga dengan sarana pendidikan dan pendukungnya, seperti kelas, kantor, mesjid, dan juga model program/ kurikulum yang terpadu, yaitu system kurikulum pesantren dan Departemen Agama.
Lembaga Pesantren Persatuan Islam 85 Banjar bukanlah lembaga profit (yang memikirkan untung dan rugi) dalam menjalankan aktifitas keumatannya, tetapi Pondok pesantren ini sebagai lembaga pendidikan dan dakwah yang tenaga pendidiknya mayoritas mengabdikan diri sepenuhnya di jalan Allah SWT. dengan pengorbanan yang tidak bisa dinilai oleh materi. Hal inilah yang membedakan dengan lembaga-lembaga lain yang mencoba dijadikan sebuah industri pendidikan yang mengedepankan aspek komersial.
Sungguh sangatlah jelas apa yang dikhawatirkan dengan peringatan Allah SWT dalam ayat diatas, bahwa barang siapa yang tidak memikirkan atas lemahnya generasi yang akan datang akibat dari tidak memilikinya kesempatan belajar, karena sesuatu hal seperti kemiskinan atau ketidakmampuhan pembiayaan, maka kelemahan sosilal, kelemahan struktur akan terwujud. Salah satu jalan keluar dari hal tersebut adalah lembaga pendidikan.
Untuk menjawab kekhawatiran diatas, dan juga sejalan dengan program pemerintah tentang wajib belajar, maka Pesantren Persatuan Islam 85 Banjar mencoba bertahan dan berjuang membina umat dan mencerdaskan generasi yang tafaqquh Fiddien.
Diambil dari www.pesantrenpersis85.wordpress.com
Sabtu, 17 Juli 2010
Persis: Jam'iyyah berpedoman Al-Qur'an dan As-Sunnah
Sejarah Persatuan Islam
Logo PersisTampilnya Jam’iyyah Persatuan Islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan pembaharuanIslam.
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita=cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Persatuan Islam Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Sumber : persis.or.id
Logo PersisTampilnya Jam’iyyah Persatuan Islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan pembaharuanIslam.
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita=cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Persatuan Islam Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Sumber : persis.or.id
Langganan:
Komentar (Atom)